Senin, 31 Oktober 2022

ANALISIS WACANA

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.     Wacana.

Wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar  di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi  tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan dan tulis. Pemahaman ini mengacu kita pada wacana yang kohesif dan koheren. Kohesi merupakan keserasian hubungan unsur-unsur dalam wacana, sedangkan koheren merupakan kepaduan wacana sehingga komunikatif mengandung satu ide. Wacana ada yang tidak kohesif, tetapi koheren (mengandung pengertian apik), perhatikanlah:

1.      Ica dan kawannya sudah berangkat, mobil dia bagus.

Kalimat (1) tidak kohesif sebagai wacana, tetapi koheren; tidak kohesif dalam arti ‘dia’ pada (1) mengacu kemana (‘ Ica’ atau ‘ kawannya’) wacana tersebut akan kohesif bila antara ‘Ica’ dan ‘kawannya’ terjadi pengulangan unsur menjadi:

2.      Ica dan kawannya sudah berangkat, mobil Ica (kawannya) bagus.

Sebagai wacana dapat terdiri atas kalimat (tuturan) yang berurutan, saling menopang dalam urutan makna secara kronologis karena sifat linieritas bahasa. Sebagai teks dapat kohesif dan koheren karena:

1.      Pasangan yang  berdekatan,

2.      Penafsiran lokal’

3.      Prinsip analogi (= tempat berpijak),

4.      Pentingnya ko-teks.

Dalam hal ini, berhubungan pula dengan prinsip pesapa tidak menyusun (membentuk) konteks yang lebih luas bila dipertimbangkan prinsip pasangan berdekatan (ko-teks). Perhatikanlah:

3.      Ania : “ Aku belum sarapan.”

Susi  : “ Ada roti di dalam tasku.”

Atau

4.      Tutty : “ Bu, ada telepon!”

Ibu  :  “ Lagi di kamar mandi!”

 

 

 

 

B.     Jenis-Jenis Wacana.

Jenis wacana dapat dikaji dari segi eksistensinya (realitasnya), media komunikasi, cara pemaparan, dan jenis pemakaian. Menurut realitasnya, wacana merupakan verbal (1) dan nonverbal (1) sebagai media komunikasi berwujud tuturan lisan dan tulis, sedangkan dari segi pemaparan, kita dapat memperoleh jenis wacana yang disebut naratif, deskriptif,  prosedural, ekspositori, dan hortatori; dari jenis pemakaian kita akan mendapatkan wujud monolog (satu orang penutur), dialog (dua orang penutur), dan polilog (lebih dari dua orang penutur) (tentang monolog, dialog dan polilog, lihat Halim, 1974).

  • Realitas Wacana.

Realitas wacana dalam hal ini adalah eksistensi wacana yang berupa verbal dan nonverbal. Rangkaian kebahasaan verbal atau language exit (kehadiran kebahasaan) dengan kelengkapan struktural bahasa, mengacu pada struktur apa adanya; nonverbal atau linguage likes mengacu pada wacana sebagai rangkaian nonbahasa (yakni rangkaian isyarat atau tanda-tanda yang bermakna (bahasa isyarat). Wacana nonbahasa yakni berupa isyarat, antara lain berupa:

  1. Isyarat dengan gerak-gerik sekitar kepala atau muka, meliputi:

a.       Gerakan mata, antara lain melotot, berkedip, menatap tajam (dapatkah kita menentukan maknanya, misalnya, melotot= marah; melotot= ‘menyuruh pergi’ dan sebagainya).

b.      Gerak bibir, antara lain: senyum, tertawa, meringis.

c.       Gerak kepala, antara lain: mengangguk, menggeleng.

d.      Perubahan raut muka (wajah), antara lain: mengerutkan kening, bermuka manis, bermuka masam.

  1. Isyarat yang ditunjukkan melalui anggota gerak tubuh selain kepala, meliputi:

a.       Gerak tangan, antara lain: melambai, mengepal, mengacungkan ibu jari, menempelkan telunjuk pada bibir, menunjuk dahi.

b.      Gerak kaki, antara lain: mengayun, menghentak-hentakan, menendang-nendang.

c.       Gerak seluruh tubuh, antara lain: seperti terlihat pada pantomim, memiliki makna wacana sampai teks.

Tanda-tanda nonbahasa yang bermakna berupa: (1) tanda-tanda rambu-rambu lalu lintas, (2) di luar rambu-rambu lalu lintas. Tanda lalu lintas, misalnya dengan warna lampu stopan: merah berarti ‘berhenti’ , kuning berarti  ‘siap untuk maju’ ; dan hijau berarti boleh maju ‘boleh maju’ ; tanda di luar lalu lintas adalah bunyi-bunyi yang dihasilkan dari kentongan, misalnya berarti ada bahaya. Realitas makna kentongan diwujudkan oleh masyarakat pendukung wacana tersebut.

  • Media Komunikasi Wacana.

Wujud wacana sebagai media komunikasi berupa rangkaian ujaran (tuturan) lisan dan tulisan. Sebagai media komunikasi wacana lisan, wujudnya berupa:

  1. Sebuah percakapan atau dialog yang lengkap dari awal sampai akhir, misalnya obrolan di warung kopi.
  2. Satu penggalan ikatan percakapan (rangkaian percakapan yang lengkap, biasanya memuat: gambaran situasi, maksud, rangkaian penggunaan bahasa).

Penggalan wacana ini berupa bagian dari percakapan dan merupakan situasi  yang berkomunikatif. Wacana dengan media komunikatif  tulis dapat berwujud, antara lain:

  1. Sebuah teks atau bahan tertulis yang dibentuk oleh lebih dari satu alinea yang mengungkapkan sesuatu secara berurutan  dan utuh, misalnya sepucuk surat, sekelumit cerita, sepenggal uraian ilmiah.
  2. Sebuah alinea, merupakan  wacana, apabila teks hanya terdiri atas sebuah alinea, dapat dianggap sebagai satu kesatuan misi korelasi dan situasi yang utuh.
  3. Sebagai wacana (khusus bahasa indonesia) mungkin dapat dibentuk oleh sebuah kalimat majemuk dengan subordinasi dan koordinasi atau sistem elipsis.
  • Pemaparan Wacana

Pemaparan wacana ini sama dengan tinjauan isi, cara penyusunan, dan sifatnya. Berdasarkan pemaparan, wacana meliputi wacana naratif, prosedural, hortatori, ekspositori, dan deskriptif. Wacana naratif adalah rangkaian tuturan yang menceritakan  atau menyajikan hal atau kejadian (peristiwa) melalui penonjolan pelaku (persona I dan III). Isi  wacana ditujukan kearah memperluas pengetahuan pendengar atau pembaca. Kekuatan wacana ini terletak pada urutan cerita berdasarkan waktu, cara-cara bercerita, atau aturan alur (plot).

Wacana prosedural dipaparkan dengan rangkaian tuturan yang melukiskan sesuatu secara berurutan dan secara kronologi; wacana Hortatori adalah tuturan yang berisi ajakan atau nasihat; wacana ekspositori bersifat menjelaskan sesuatu; dan wacana deskriptif berupa rangkaian tuturan yang memaparkan sesuatu  atau melukiskan sesuatu, baik berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan penuturnya.

 

 

  • Jenis Pemakaian Wacana

Jenis pemakaian berwujud monolog, dialog dan polilog. Wacana monolog merupakan wacana yang tidak melibatkan bentuk tutur percakapan atau pembicaraan antara dua pihak yang berkepentingan. Jenis wacana ini berupa: surat, bacaan, cerita dan lain-lain. Wacana yang berwujud dialog berupa percakapan atau pembicaraan antara dua pihak, terdapat pada konversasi. Wacana dialog berupa: pembicaraan telepon, tanya jawab, wawancara, teks drama dan film. Wacana polilog melibatkan partisipant pembicaraan di dalam konversasi.

  1. Wacana dan Fungsi Bahasa Dalam Komunikasi

Wacana dengan unit konversasi ini memerlukan unsur komunikasi yang berupa sumber (pembicara/penulis/pendengar), penerima(pendengar/pembaca/pembicara), saluran komunikasi, pesan, dan pokok masalah. Semua unsur komunikasi  berhubungan dengan fungsi bahasa. Fungsi bahasa meliputi: fungsi ekspresif yang menghasilkan jenis wacana berdasarkan pemaparan secara ekspositori; fungsi fatik (pembuka konversasi) yang menghasilkan dialog pembuka, misalnya, assalamuaiaikum, yang diucapkan pada pembuka jenis wacana lisan transaksional (pidato). Wacana fatik melibatkan unsur saluran komunikasi; fungsi informasional menyangkut pokok masalah di dalam unsur komunikasi. Wacana informasional, misalnya pengumuman, yang ditonjolkan hanya bagian inti yang dipentingkan sebab sebagian besar sudah diketahui bersama; fungsi estetik lebih menyangkut unsur pesan sebagai unsur komunikasi (setiap karya sastra mengandung pesan); fungsi direktif berhubungan dengan pembaca/pendengar sebagai penerima isi wacana secara langsung dari sumber.

  1. Wacana dan Komposisi

Komposisi  merupakan bentuk pengungkapan gagasan berupa gubahan yang tercermin dalam susunan berupa kalimat. Komposisi dapat berupa: majalah skripsi, berita koran, pidato dan surat. Karya sastra yang berupa sajak, cerpen dan novel pun  merupakan komposisi.

  1. Ciri Utama Komposisi

Ciri utama komposisi adalah kepaduan. Kepaduan ini berbentuk oleh adanya kesatuan dan pertautan. Kesatuan itu berkenaan dengan pokok masalah, sedangkan pertautan itu berkenaan dengan hubungan antara bagian yang satu dan bagian yang lain, yang berupa kalimat, paragraf, pasal, dan bab; bagian yang berupa bab lazim terdapat pada komposisi yang berbentuk buku.

  1. Upaya (Deuice) Pertautan

Pertautan lazim digunakan oleh ungkapan penghubung dan pengulangan unsur kalimat (dikatakan pula sebagai upaya pembentuk kohesi wacana).

  1. U paya Penghubung Antarkalimat dan Penghubung Paragraf

Upaya yang digunakan sebagai penghubung antarkalimat, antara lain:

  • Oleh sebab itu
  • Namun
  • Akan tetapi
  • Dengan demikian
  • Selanjutnya
  • Selain itu

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

KONTEKS DAN UPAYA WACANA

 

  1. Konteks Wacana

Konteks wacana dibentuk oleh berbagai unsur, seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan saluran. Unsur-unsur yang berhubungan pula dengan unsur-unsur yang terdapat dalam setiap komunikasi bahasa, unsur-unsur tersebut antara lain:

  • Latar  (Setting dan Scene)
  • Peserta (participants)
  • Hasil (ends)
  • Amanat (Message)
  • Cara (Key)
  • Sarana (Instrument)
  • Norma (Norms)
  • Jenis (Genre)
  1. Rincian Dalam Konteks

Unsur-unsur pembicara, pendengar, dan benda atau situasi (keadaan, peristiwa, dan proses) yang menjadi acuan di dalam konteks wacana dapat dirinci. Ciri-ciri orang dapat diperjelas acuannya, misalnya dengan ciri fisik (luar) atau dengan uraian yang agak emosional, bahkan dapat pula dinyatakan dengan perbuatan yang sedang dilakukan orang tersebut. Bila kita perhatikan antara lain ada:

  • Rincian Fisik (Ciri Luar)
  • Rincian Emosional
  • Rincian Perbuatan
  • Rincian Campuran

 

  1. Referensi dan Inferensi

Referensi yang digunakan dalam bahasa adalah unsur-unsur yang disebut nama diri, pronomina persona ( orangan), dan unsur kosong  (sifat) atau hilang. Unsur pelaku perbuatan, penderita perbuatan (pengalaman), pelengkap perbuatan dan perbuatan yang dilakukan pelaku, serta tempat perbuatan dapat kita temukan, baik pada wacana lisan maupun tulis. Unsur tersebut sering diulang untuk memperjelas makna, dan sebagai acuan (referensi).

  1. Kohesi dan Koherensi

Kohesi adalah keserasian hubungan antara unsur yang satu dan unsur yang lain dalam wacana sehingga terciptalah pengertian yang apik atau koheren. Kohesi merujuk pada pertautan bentuk, sedangkan koherensi  pada pertautan makna.

  1. Referensi (Endofora dan Eksofora)

Secara tradisional, referensi adalah hubungan antara kata dan benda, tetapi lebih luas lagi referensi dikatakan sebagai hubungan bahasa dengan dunia. Ada pula yang menyatakan referensi adalah hubungan bahasa dengan dunia tanpa memperhatikan pemakai bahasa. Referensi dapat berupa endofora (anafora dan katafora), dan eksofora. Endofora bersifat tekstual, referensi (acuan) ada di dalam teks, sedangkan eksofora bersifat situasional (acuan atau referensi berada di luar teks).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

WACANA DAN PRAGMATIK

 

  1. Hubungan Wacana dan Pragmatik

Masyarakat wacana adalah masyarakat yang terikat oleh penulis-pembaca (dengan upaya wacana tulis), lain halnya dengan masyarakat tutur (speech community) yang terikat pembicara penyimak (dengan upaya wacana lisan) di dalam sosiolinguistik. Baik masyarakat wacana maupun masyarakat tutur memiliki media, kelompok dan struktur yang berbeda, yaitu:

  1. Masyarakat wacana memiliki media tulis, kelompok sosioretik, dan struktur sentrifugal.
  2. Masyarakat tutur memiliki media lisan, kelompok sosiolinguistik, dan struktur sentripetal.

Media merupakan sarana dalam jalur komunikasi. Sarana sebagai upaya dalam masyarakat tutur berupa berbicara-menyimak (speaking-listening), sedangkan di dalam masyarakat wacana berupa menulis-membaca (writing-reading). Sarana bagi masyarakat wacana berfungsi sebagai pengawet (tulisan) yang dapat disimpan dan diwariskan secara turun-temurun. Sarana pada masyarakat tutur sulit untuk diawetkan karena terikat niang dan waktu (berlaku pada saat tertentu saat ujaran terjadi).

  1. Praduga

            Praduga pragmatik merupakan asumsi pembicara yang merupakan ekspresi yang disusunnya dapat diterima pendengarnya (pembacanya) tanpa tantangan (penolakan). Praduga disebut pula sebagai salah satu jenis inferensi pragmatik (lebih didasarkan ada struktur linguistik kalimat-kalimat pada permukaan).

  1. Deiksis

Fenomena deiksis merupakan cara yang paling jelas untuk menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks di dalam struktur bahasa itu sendiri. Deiksis berdasarkan prototipe adalah penggunaan pronomina demonstratif, pronomina persona I dan II, kala, temporal khusus dan lokasi (misalnya sekarang, di sini dan termasuk ciri-ciri gramatikal yang terikat langsung di dalam situasi tuturan. Deiksis dapat berupa lokasi (tempat), identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungan dimensi ruang dan waktu pada saat dituturkan oleh pembicara atau kawan pembicara.

 

  1. Tindak Ujar

Tindak ujar (speech act) akan berkembang dalam analisis wacana dan merupakan unsur pragmatik yang melibatkan pembicara pendengar/penulis pembaca serta yang dibicarakan. Para psikolog menganjurkan bahwa pemerolehan konsep tindak ujar secara mendasar merupakan prasyarat dari pemerolehan bahasa pada umumnya.

  • Verba Performatif

Ciri khusus tindak ujar mengandung verba performatif sebagai berikut:

  1. Menyatakan
  2. Bertanya
  3. Menyuruh
  4. Memohon
  5. Mengingatkan
  6. Bertaruh
  7. Menganjurkan
  • Jenis Tindak Ujar Langsung

Tindak ujar dapat diklasifikasikan ke dalam tindak ujar langsung (indirect speech acts) dan tindak ujar tak langsung (indirect speech acts). Tindak ujar langsung menunjukkan fungsinya dalam keadaan (tindakan) lansung dan literal (penuturan sesuai kenyataan).

  • Jenis Tindak Ujar Tak Langsung

Dalam berbagai hal, tindak ujar langsung tak cenderung selalu terjadi seperti dinyatakan terdahulu bahwa tindak ujar langsung dapat dinyatakan melalui upaya: (1) penuturan sesuai dengan kenyataan “tuturan situasional” (literal utterance), dan (2) penggunaan VP sebagai tindak ujar. Ke dalam tindak ujar langsung tersebut dapat ditambahkan “kondisi yang menyenangkan dengan membuat ujaran tak langsung”.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

HUBUNGAN GRAMATIKAL  DAN SEMANTIK DALAM WACANA

 

  1. Hubungan Gramatikal

Hubungan gramatikal wacana dapat dipertimbangkan dari analisis wacana secara mikrostruktural (melalui unsur-unsur pendukung wacana) dan secara makrostruktural (melibatkan pelatar depanan (foreground) dan pelatar belakangan (background) dari wacana sebagai berikut:

Unsur-unsur gramatikal yang mendukung wacana dapat berupa:

  1. Unsur yang berfungsi sebagai konjungsi  (penghubung) kalimat atau satuan yang lebih besar, seperti dengan demikian, maka, itu sebabnya, oleh karena itu, lagipula, kemudian setelah itu, sementara itu, ketika, misalnya, sekiranya, jangankan;
  2. Unsur kosong, unsur yang lebih diselapkan mengulangi apa yang telah diungkapkan pada bagian terdahulu (yang lain).
  3. Kesejajaran antar bagian.
  4. Referensi, baik endofora (anafora dan katafora) maupun eksofora.
  5. Kohesi leksikal, dapat dibagi menjadi  4 bagian yaitu:
  • Pengulangan
  • Sinonimi
  • Hiponimi
  • Kolokasi
  1. Konjungsi merupakan unsur yang menghubungkan konjungsi (klausa/kalimat), di dalam wacana. Konjungsi dapat berupa :

·         Elaborasi

·         Ekstensi

  1. Hubungan Antarklausa

Hubungan semantis merupakan hubungan antar proposisi dari bagian-bagian wacana. Hubungan proposisi-proposisi dalam kalimat atau antarklausa. Hubungan antarproposisi dapat berupa hubungan antarklausa yang dapat ditinjau dari segi (a) jenis kebergantungan (interdependency), dan (b) hubungan logika semantik.

 

 

  1. Hubungan Logika Semantik

Hubungan logika semantik dapat dikaitkan dengan fungsi semantik konjungsi yang dapat berupa: (1) Ekspansi (perluasan), meliputi: elaborasi, penjelasan/penambahan; (2) proyeksi, berupa: ujaran dan gagasan.

  1. Hubungan Semantik

Hubungan logika semantik dapat terjadi dari sudut pandang hubungan antarklausa. Hubungan makna antar proposisi pada wacana tersebut. Hubungan semantik antar proposisi pada wacana tersebut berupa:

  • Ibarat
  • Generik-spesifik
  • Sebab-akibat
  • Alasan-akibat
  • Sarana-hasil
  • Sarana-tujuan
  • Latar-simpulan
  • Syarat-hasil
  • Perbandingan
  • Parafrastis
  • Aditif, berhubungan dengan waktu
  • Aditif, berhubungan dengan kondisi
  • Identifikasi
  • Implikatif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar